Rabu, 22 Juni 2011

Macam-Macam Tauhid dan Faedahnya


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga akhir zaman.

Sesungguhnya Allah telah mengutus para nabi dan rasul untuk mendakwahkan tauhid. Allah mengutus mereka untuk mengajak manusia beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah Ta’ala berfirman

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Q.S. An-Nahl : 36)

الطَّاغُوتَ, bermakna syaithan yang mengajak beribadah selain kepada Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Semua nabi adalah bersaudara dan agama mereka adalah satu” (Mutafaqqun ‘Alaih). Maksud dari agama mereka adalah satu ialah agama yang bertauhid, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.



Macam-Macam Tauhid

1. Tauhid rububiyah

Tauhid rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala perbuatan-Nya, seperti menciptakan dan mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya dan manfaat, memberi rizqi dan semisalnya. Allah Ta’ala berfirman

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Q.S. Al-Fatihah : 1)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘Alaih)

2. Tauhid uluhiyah


Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah, seperti berdoa, bernadzar, berkurban, shalat, puasa, zakat, haji dan semisalnya. Allah Ta’ala berfirman

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah : 163)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka hendaklah apa yang kamu dakwahkan kepada mereka pertama kali adalah syahadat bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah” (Mutafaqqun ‘Alaih). Dalam riwayat Imam Bukhari, “Sampai mereka mentauhidkan Allah”.

3. Tauhid asma’ was shifat


Tauhid asma’ was shifat adalah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang telah disifati oleh Allah untuk diri-Nya di dalam Al-Quran atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam As-Sunnah yang shahih tanpa takwil (menyelewengkan makna), tanpa tafwidh (menyerahkan makna), tanpa tamtsil (menyamakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil.[1]

Allah Ta’ala berfirman

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak sama dengan turunnya makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan dzat Allah. Ahlussunnah hanya mengimani bahwa Allah memang turun ke langit dunia. Tapi tidak membahas hakikat bagaimana Allah turun apalagi menyamakan turunnya Allah dengan turunnya makhluk.



Faedah Tauhid

Beberapa faedah dari tauhid adalah engkau beriman adanya adzab pada hari akhir (kiamat), mendapat hidayah di dunia, menjadi sebab terhapusnya dosa dan masih banyak lagi. Allah Ta’ala berfirman

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. Al-An’am : 82)

بِظُلْمٍ, yaitu syirik (menyekutukan Allah)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Hak hamba atas Allah adalah seorang hamba tidak akan di adzab apabila ia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun” (Mutafaqqun ‘Alaih).

Dapat kita simpulkan bahwa, jika seseorang telah mentauhidkan Allah secara rububiyah, maka hal ini berkonsekuensi seorang hamba harus mentauhidkan Allah dalam uluhiyah. Artinya apabila seseorang meyakini bahwa Allah lah yang menciptakannya, mengatur alam semesta dan memberinya rizqi, maka selayaknya ia hanya beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Karena dakwah yang paling utama dan paling mulia adalah dakwah tauhid. Seperti perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah “Tauhid adalah kunci pembuka dakwah para Rasul”. Kemudian beliau menyebutkan tentang hadits Mu’adz bin Jabal yang diutus untuk mendakwahkan tauhid”.[2]

Jadi, sudah seharusnya seorang hamba mendahulukan hak Allah di atas hak siapa pun. Karena seorang hamba telah mengetahui siapa yang menciptakannya dan untuk apa ia diciptakan. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengingatkan bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (tauhid)”.

Segala puji bagi Allah. Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.



Disarikan dari kitab “Khudz Aqidataka minal Kitabi was Sunnah Ash-Shahihah”, oleh Muhammad bin Jamil Zainu dan tambahan seperlunya dari sumber lainnya

Diselesaikan pada hujan di siang hari, Wisma Misfallah Thalabul ‘Ilmi, Yogyakarta

09 Jumadits Tsani 1431 H, 23 Mei 2010 M

Wiwit Hardi Priyanto (Abul Aswad)

                                                                                                                                                                   

[1] Mengingkari apa yang diwajibkan Allah ta’ala dari nama dan sifat-Nya, atau mengingkari sebagian nama dan sifat-Nya [Kitab Tahdzib Tashil Al-Aqidah Al-Islamiyah, hal.55 karya Syaikh Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin]

[2] Disadur secara ringkas dari Sittu Durar min Ushuul Ahlil Atsar (hal. 16-20, 22, 23) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, cet. Maktabah al-‘Umarain al-‘Ilmiyyah, th. 1420 H, at-Tauhiid Awwalan yaa Du’aatal Islam oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. II-Maktabah al-Ma’arif-th. 1422 H, al-‘Aqiidah Awwalan lau Kaanu Ya’lamuun oleh Dr. ‘Abdul Aziz al-Qaari’, cet. II-th. 1406 H, Manhajul Anbiyaa’ fid Da’wah ilallaah fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, [melalui situs almanhaj.or.id]
 

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentar tentang postingan ini.....
Jika ada kesalahan mohon di ralat....
Tolong komentar yang berguna !!!!!!