Sabtu, 03 September 2011

KEUTAMAAN DI BULAN DZULHIJJAH


إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. [آل عمران: 102]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [النساء: 1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا [الأحزاب: 70-71]

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:







Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta dengan menjauhi segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju tempat tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak orang yang dulunya bersama kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah dengan kita, telah melewati dan meninggalkan dunia ini. Mereka telah meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat perhitungan dan pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya kita menyusul mereka. Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal ketika pada hari perhitungan amal nanti dia datang dalam keadaan tidak membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ اْلإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.” (Al-Fajr: 23-24)

Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu dengan dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat, tidak seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ - يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ


“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)

Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik itu berupa ucapan takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ


“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)

Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah, seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)

Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan para ulama adalah hari yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُوْدَاتٍ


“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut:

أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan dzikir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kaum muslimin untuk banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq dan hari-hari sebelumnya di awal bulan Dzulhijjah, para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebutkan fatwa sebagai berikut:

“Disyariatkan pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir muqayyad. Adapun takbir mutlak maka (disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh waktu dari mulai awal masuknya bulan Dzulhijjah sampai hari yang terakhir dari hari-hari tasyriq. Sedangkan takbir muqayyad (disyariatkan untuk dilakukan) pada setiap selesai shalat wajib mulai dari setelah selesai shalat subuh pada hari Arafah sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir hari tasyriq. Dan pensyariatkan hal tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para shahabat radhiyallahu 'anhum.”

Sebagaimana ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu amalan yang tata caranya tidak boleh menyimpang dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga para ulama juga memberikan peringatan dari dilakukannya takbir secara jama’i, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Yang dimaksud di sini adalah takbir yang diucapkan secara bersama-sama dengan satu suara dan dipimpin oleh seseorang. Hal ini sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang melakukan takbir sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir dengan cara bersama-sama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang) tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita. Begitu pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita akan menjadi orang yang mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga dari gangguan setan, serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. {فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ}.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.



Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:



Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selalu menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara bentuk ketaatan yang sangat besar keutamaannya dan sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menyembelih binatang qurban. Amalan ini merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seorang muslim yang memiliki kemampuan semestinya menjalankan amal ibadah yang mulia ini, yaitu menyembelih hewan qurban, baik dia lakukan sendiri dan ini lebih afdhal, atau meminta orang lain yang mengetahui hukum dan cara penyembelihan yang syar’i untuk melakukan penyembelihannya.

Namun tidak boleh baginya untuk membayar upah penyembelihannya dengan sebagian dari hewan qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya, atau yang semisalnya. Meskipun boleh baginya untuk memberinya sebagai sedekah sebagaimana diberikan kepada yang lainnya dari kalangan fakir miskin. Atau bisa pula dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai hadiah, sebagaimana dia berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga ataupun kerabatnya meskipun mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk memakan hewan sembelihannya, namun tidak boleh baginya untuk menjual bagian apapun dari hewan sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi orang yang berqurban untuk memotong rambut dan kukunya dari mulai masuknya awal bulan Dzulhijjah sampai dia melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang demikian tadi disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa untuk melaksanakan ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa bergabung secara bersama-sama dengan menyembelih seekor onta atau sapi. Begitu pula bisa dengan menyembelih seekor kambing, namun itu hanya mencukupi untuk satu orang. Namun dengan menyembelih satu ekor kambing sudah mencukupi untuk diri dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara dia niatkan pahalanya untuk dirinya dan seluruh keluarganya baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia1. Maka semua akan mendapat keutamaan dan pahala yang sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawab.

Hadirin rahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu penyembelihan maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari setelah selesai shalat Idul Adha dan berakhir waktunya menurut pendapat yang benar hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas di bulan Dzulhijjah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى


“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah (lagi) kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum saatnya) tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah ditentukan. Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hewan itu bukanlah hewan yang buta satu matanya dan sangat jelas butanya, serta bukan pula hewan yang terkena sakit dan sangat jelas sakitnya. Bukan pula hewan yang pincang sehingga tidak bisa berjalan mengikuti lainnya, serta bukan hewan yang sudah sangat tua sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya kepada ahlinya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.

Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari sebaik-baik hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang tinggi nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya, dan kuat/sehat tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian termasuk bentuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menunjukkan besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ


“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)

Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita menjadi orang yang sia-sia amalannya, karena beribadah dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ ... اذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.


Qurban, Keutamaan, dan Hukumnya

Definisi

Al-Imam Al-Jauhari rahimahullahu menukil dari Al-Ashmu’i bahwa ada 4 bacaan pada kata اضحية:
1. Dengan mendhammah hamzah: أُضْحِيَّةٌ
2. Dengan mengkasrah hamzah: إِضْحِيَّةٌ
Bentuk jamak untuk kedua kata di atas adalah أَضَاحِي boleh dengan mentasydid ya` atau tanpa mentasydidnya (takhfif).
3. ضَحِيَّةٌ dengan memfathah huruf dhad, bentuk jamaknya adalah ضَحَايَا
4. أَضْحَاةٌ dan bentuk jamaknya adalah أَضْحَى

Dari asal kata inilah penamaan hari raya أَضْحَى diambil. Dikatakan secara bahasa:

ضَحَّى يُضَحِّي تَضْحِيَةً فَهُوَ مُضَحِّ

Al-Qadhi rahimahullahu menjelaskan:
“Disebut demikian karena pelaksanaan (penyembelihan) adalah pada waktu ضُحًى (dhuha) yaitu hari mulai siang.”

Adapun definisinya secara syar’i, dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379):
“Hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470)

Syariat dan Keutamaannya
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.

Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya, النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban.

Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan:
“Tidak samar lagi bahwa menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat وَانْحَرْ.”

Juga keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)

Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”

Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:

إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)

Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:

ضَحَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966, dan lafadz hadits ini milik beliau)

Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-, Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya.

Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berkut:
1. Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Hajj ayat 36.

2. Berqurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.

3. Berqurban termasuk ibadah yang paling utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (Al-An’am: 162-163)

Juga firman-Nya:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”

Beliau mengatakan lagi:
“Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)

Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Beliau juga menegaskan:
“Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat.”

Hukum Menyembelih Qurban
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)

Sisi pendalilannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. Menyembelih hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah radhiyallahu 'anha)

Faedah:
Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab:
“Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban atas nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah radhiyallahu 'anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah radhiyallahu 'anhu, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikuti, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424 cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390)

Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:
1. Bila sang mayit pernah bernadzar sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi karena termasuk nadzar ketaatan.
2. Bila sang mayit berwasiat sebelum wafatnya, wasiat tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat Syarh Bulughil Maram, 6/87-88 karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Hadits yang menunjukkan kebolehan berqurban atas nama sang mayit adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan At-Tirmidzi (no. 1500) dari jalan Syarik, dari Abul Hasna`, dari Al-Hakam, dari Hanasy, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dhaif karena beberapa sebab:

1. Syarik adalah Ibnu Abdillah An-Nakha’i Al-Qadhi, dia dhaif karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).
2. Abul Hasna` majhul (tidak dikenal).
3. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir Ash-Shan’ani, pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham (jujur namun punya beberapa kekeliruan) oleh Al-Hafizh dalam Taqrib-nya.
Dan hadits ini dimasukkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (2/844) sebagai salah satu kelemahan Hanasy.

Adapun bila ada yang berqurban atas nama sang mayit, maka amalan tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit dan masuk pada keumuman hadits:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ...
“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah....” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Wallahul muwaffiq.


1 Juga Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam Fathur Rabbil Wadud (1/370).


0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentar tentang postingan ini.....
Jika ada kesalahan mohon di ralat....
Tolong komentar yang berguna !!!!!!