Senin, 26 Desember 2011

Menikah dengan orang kafir

Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ?”. Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya non muslim, seperti di Australia ini. Untuk itu pada rubrik fikih kali ini tim redaksi menampilkan fikih berkenaan dengan nikah beda Agama.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1.  Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
2.  Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam

Hukum syariat terhadap pernikahan seperti itu adalah batil berdasarkan nash-nash Al-Qur’ân, As-Sunnah dan ijmâ’ (kesepakatan) kaum muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ۚ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولاَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللهُ يَدْعُوْ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لََعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Yang demikian karena dikhawatirkan para wanita muslimah nantinya akan disimpangkan oleh orang-orang kafir tersebut dari aqidahnya atau akan dirusak oleh mereka dan bukannya para wanita muslimah itu yang sanggup memperbaiki suami mereka yang kafir, karena Allah berfirman:
أُولاَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ
“Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221)
Yaitu orang-orang kafir itu dari langkah-langkah mereka akan mengajak kepada apa yang menjadi sebab masuknya ke neraka, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Hubungan pernikahan termasuk cara yang paling kuat untuk mempengaruhi jiwa masuk dalam ajakan sesat ini. Sedangkan orang kâfir itu tidak pernah ridha dari kaum muslimah sampai dia mau mengikuti agama orang kafir tersebut. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”(Al-Baqarah: 120)
Maka lelaki non muslim tidak sekufu dengan muslimah sama sekali, karena hak-hak hidup berumah tangga menuntut seorang istri sekian dari hak untuk suaminya. Allah berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (An-Nisaa’: 34)
Maka hal ini tidak akan menjadi baik jika suami adalah seorang yang kafir sementara istri adalah muslimah. Allah berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 141)
Demikian pula kedudukan suami adalah lebih tinggi di atas istri baik secara lahir maupun batin dan ini termasuk hal yang bertentangan dengan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
اَلإسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”
Yang wajib adalah agar dilakukan pada masalah ini satu perlakuan yang benar dan menerapkan (hukuman) pada apa yang semestinya atas wanita-wanita yang telah tergoda oleh nafsunya untuk melakukan tindakan tersebut (menikah dengan pria kâfir) suatu hal yang menjadi tuntutan dari kaidah-kaidah syariat yang suci ini. Barangsiapa melakukan (perbuatan tersebut) dalam keadaan menganggapnya halal, maka wanita itu murtad dan walinya jika bertindak sama maka sama pula hukumnya.
Jika wanita itu melakukannya namun ia tidak menganggap halal pernikahan tersebut, berarti ia telah melakukan dosa besar dan kejahatan besar. Akan tetapi ia tidak dihukumi murtad dan wajib ditegakkan hukum had kepadanya dengan hukuman rajam bila ia pernah menikah. Jika ia masih perawan maka ia terkena hukuman dera (cambuk) dan diasingkan selama setahun. Ini semua jika keadaan wanita itu mengetahui (memiliki ilmu tentang hukumnya). Sedangkan jika ia tidak mengetahui, maka gugurlah hukuman kepadanya, karena hukum had menjadi gugur disebabkan adanya syubhat (kekaburan karena tidak berilmu).
Sebagaimana wajibnya untuk terjadi perceraian di antara mereka berdua, wajib pula untuk menerapkan pada hak suami apa yang menjadi tuntutan dari kaidah-kaidah syari’at Islam yang indah ini. Maka penguasa melihat dari sisi maslahat syar’inya dan berijtihad pada macam perceraian apa yang diberlakukan atas mereka. Sampai-sampai seandainya saja maslahat menuntut untuk dilakukan hukuman terhadap mereka dengan hukuman mati, maka bisa dilakukan terhadap mereka dan yang seperti ini dibolehkan secara syari’at. (Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, jilid 10, hal. 136-138)

HUKUM:

Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam

Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:

1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5,“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”

2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):222,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang.

Dari sebuah literatur,  dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.

Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah. 

Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”

Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.

Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.

Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.

Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas nikah hokum beda agama menjadi demikian:
  1. Suami islam , istri ahli kitab = boleh
  2. Suami islam, istri kafir/ bukan ahli kitab = Haram
  3. Suami ahli kitab, istri islam = haram
  4. Suami kafir bukan ahli kitab, isri islam = haram
  5. Suami islam, istri islam= boleh
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama. (Tim redaksi dari berbagai sumber)

2 komentar:

dindadesi mengatakan...

Permisi Numpang Promo
Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

Anonim mengatakan...

Suami islam, istri islam= boleh ???

yang ini tidak perlu ditulis,, karena sudah seharusnya

Posting Komentar

Tolong komentar tentang postingan ini.....
Jika ada kesalahan mohon di ralat....
Tolong komentar yang berguna !!!!!!